Solusi Hidup Berkah dengan wakaf

WAKAF, Kenapa Tidak?

WAKAF; KENAPA TIDAK?

Oleh : Ir. Moch. Arief

(Direktur Utama Nurul Islam Group – Batam)

 

Pasar atau di sebut suuq pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat memiliki sunah yang sama dengan masjid dimana siapa yang mendapat tempat duluan dia berhak duduk sampai dia berdiri dan kembali ke rumah atau menyelesaikan perdagangannya (suuq lil Muslimiin ka musalla lil Muslimin, man sabaqa ila shai’in fahuwa lahu yawmahu hatta yadaahu). Di dalamnya juga tidak ada sewa, pungutan maupun pajak, siapapun bebas berdagang. Namun, kita lihat hari ini pasar telah berubah total, di dalamnya berdiri megah bangunan-bangunan yang menopangnya. Sebutannya berubah menjadi ‘pasar modern’ dengan berbagai nama seperti plaza, mall, dll. Kebebasan di pasar hilang karena berlaku sistem sewa dan pajak. Sampai-sampai mohon ma’af untuk buang air pun harus bayar. Pun, kepemilikan berpindah kepada individu atau perusahaan yang mengelolanya. Apa yang terjadi di pasar modern juga terjadi hal yang sama di pasar tradisional. Pasar sesungguhnya adalah wakaf umum (publik), siapapun berhak berdagang di dalamnya tanpa ada pungutan dan biaya apapun. Pasar sebagai salah satu eksistensi wakaf kaum muslimin telah hilang hari ini.

 

Pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid, sang istri, Siti Zubaidah mewakafkan sumur dan sumber mata air di jalan-jalan yang dilalui oleh jama’ah haji dari Iraq, Syam, Mesir dan Yaman menuju Hijaz. Sumber mata air ini juga dinikmati oleh para kafilah yang bepergian menuju Afrika dan India. Bagi mereka tersedia air cuma-cuma untuk kebutuhan selama bepergian. Subkhanalloh. Kembali kita lihat di era kapitalisme saat ini, air-air tersebut tidak lagi ditemukan, kalaupun ada harus beli tidak ada lagi yang namanya gratis. Satu lagi, air sebagai kebutuhan publik yang vital dan semestinya menjadi wakaf, saat ini tidak lagi tersedia kecuali harus beli dan bayar.

 

Pada era berikutnya di jaman khalifah Umar bin Abdul Aziz dibangun wakaf sarana umum jalan utama, kuda tunggangan, dan tempat-tempat peristirahatan lengkap dengan hidangan makanan yang dibutuhkan berikut kamar mandi, membentang di sepanjang jalan dari daerah Samarkhan hingga Vas. Masya’alloh. Lagi-lagi hari ini di era materialisme saat ini,  kita harus melewati jalan tol dan membayarnnya, penginapan umum telah hilang berganti hotel-hotel yang harus bayar untuk menginapnya, demikian juga saat menikmati hidangan yang disediakan.  Di era modern sekarang ini, semuanya serba beli dan bayar bahkan di sektor publik (primer) sekalipun, sebagaimana contoh-contoh diatas. Wakaf di sektor publik telah menjadi puing-puing.

 

Puing-puing runtuhnya kejayaan wakaf terjadi seiring dengan runtuhnya daulah Islamiyah sejak kekhalifahan Turki Usmani 1924 hingga hari ini. Namun demikian, lembaran sejarah sejak masa Rasulullah SAW, para sahabat dan kekhalifahan berikutnya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk wakaf pernah dipraktekkan dan bahkan mengalami kegemilangannya di berbagai bidang, di mana wakaf menjadi basis pengelolaan sarana publik seperti jalan, jembatan, tempat peristirahatan, layanan sosial kepada fakir miskin, kesehatan seperti klinik dan rumah sakit, pendidikan dengan pendirian sekolah, asrama, perpustakaan, pesantren, perguruan tinggi (universitas), pelestarian lingkungan, dan juga sektor usaha.  Dan kini, di beberapa negara kaum muslimin seperti Sudan, Mesir, Kuwait, Arab Saudi,  Yordania, Turki, Bangladesh, Malaysia dan Singapura, wakaf telah kembali dikembangkan di sektor-sektor produktif dan dikelola  secara profesional. Indonesiapun tidak ketinggalan meskipun pengelolaan wakaf masih di dominasi oleh sektor swasta. Sebutlah Pesantren Gontor, UII Yogyakarta, Tabung Wakaf Indonesia yang melahirkan SMART untuk sekolah gratis kalangan dhuafa, LKC atau layanan kesehatan cuma-cuma, Institute Kemandirian bagi dhuafa, dan di Batam ada Nurul Islam Group dengan memunculkan aset-aset wakaf seperti Mini Market, BMT Nurul Islam, Wakaf Centre Loka Budidaya Terpadu dengan memadukan pengelolaan bidang perikanan, pertanian, peternakan, dan perkebunan.

 

Dari sisi pemerintah, perangkat peraturan telah mapan mulai dari UU No.41 Tahun 2004 tentang pengelolaan wakaf, PP. No. 42 tahun 2006, serta Keppres tahun 2007 tentang pembentukan Pengurus Badan Wakaf Indonesia yang kini telah memiliki berbagai perwakilannya di daerah-daerah. Namun demikian, gerakan menghidupkan wakaf di tanah air sebagaimana usaha-usaha yang telah dan sedang dilakukan tersebut, kadarnya boleh di bilang baru riak-riak kecil dari gelombang besar yang mestinya bisa wujudkan. Potensi wakaf di Indonesia sangatlah besar. Dari data Depag jumlahnya mencapai lebih 2,686 miliar meter persegi atau setara enam kali pulau Batam. Nilai kapitalisasinya mencapai 590 trilliun (Zaim saidi, 2009). Luar biasa, seper-empat lebih APBN pemerintah Indonesia tahun 2014.

 

Dengan hidupnya kembali perwakafan terutama di sektor publik yang terkait dengan sarana – sarana vital bagi kelangsungan kehidupan masyarakat seperti rumah sakit, sekolah, transportasi umum, air untuk kebutuhan rumah tangga, listrik dan juga bahan bakar, paling tidak tersedia dengan murah atau bebas biaya.

 

Berpijak pada sejarah dan pengalaman, perwakafan justru berawal dari sektor swasta atau masyarakat. Oleh karena itu, hal yang menjadi kebutuhan dan harus terus digelorakan adalah pertama; edukasi dan sosialisasi perwakafan secara intens melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Edukasi ini akan lebih efektif bila dimasukkan dalam mata pelajaran / kurikulum di sekolah-sekolah, sehingga siswa sejak dini telah mendapat gambaran yang utuh tentang perwakafan dari semua dimensinya. Intinya adalah membangun kesadaran tentang perwakafan kepada masyarakat. Kedua; Nazhir wakaf. Beberapa hal yang terkait dengan nazhir yaitu meningkatkan kebanggaan menjadi seorang nazhir karena dipundaknya kesejahteraan (pelayanan) masyarakat dipertaruhkan. Ajaran wakaf yang mulia seharusnya membawa kemuliaan terhadap para pengelolanya dalam hal ini adalah nazhir. Berikutnya soal kompetensi dimana nazhir tidak hanya dituntut jujur, amanah dan bertanggungjawab, akan tetapi harus menguasai aspek manajemen yang profesional serta berwawasan kewirausahaan sosial (social entrepreneurs). Ketiga; Program wakaf. Wakaf tidak hanya terkait dengan aset-aset tidak bergerak seperti tanah, bangunan, gedung akan tetapi juga terkait aset-aset bergerak seperti uang, surat berharga, logam mulia, dll. Wakaf aset-aset bergerak akan mendorong bangkitnya perwakafan di sektor-sektor usaha-usaha produktif baik di sektor produksi (pertanian, perkebunan, perikanan, dll.), industri manufaktur, perdagangan, properti, usaha dan jasa.

 

Wakaf tidak ada persyaratan jumlah (nishab) atau waktu (haul) sebagaimana di zakat, maka siapapun bisa berwakaf sepanjang ada kelapangan dada untuk memberikan sebagian hartanya untuk kebajikan di jalan Alloh. Hal yang mudah bisa dilakukan diantaranya seperti wakaf Al-Qur’an, Al Hadist, Kitab-kitab yang menjadi rujukan hukum Islam, sarana peribadatan, pohon atau tanaman produktif, penyediaan air cuma-cuma, uang, logam mulia, dll.

 

Dimana posisi kita hari ini untuk menghidupkan kembali perwakafan? Setidaknya ada sesuatu yang bisa kita wakafkan dari apa yang kita miliki saat ini. Start with ourself for waqf.

Wallohu A’lam

 

 

 

1 komentar untuk “WAKAF, Kenapa Tidak?”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top