Solusi Hidup Berkah dengan wakaf

WAKAF di Persimpangan Jalan

WAKAF DI PERSIMPANGAN JALAN

 

Disadur Oleh :

Bimo T. Prasetyo – Nazhir Wakaf KSPPS BMT Nurul Islam

 

Penjelasan mengenai bentuk waqaf dan kebijakan yang menyertainya pada zaman Rasulullah serta para Sahabat dan membandingkannya dengan kondisi hari ini sesungguhnya menyiratkan satu pesan serius: waqaf telah dikelola setengah hati.

Seperti zakat yang telah lebih dahulu digeluti, waqaf di negeri ini masih menghadapi tantangan terbesarnya: ketidak sungguhan yang diikuti oleh slogan perusakan sendi-sendi Islam oleh ‘barat’ untuk mengalihkan ketidak mampuan tersebut. Waqaf, seperti zakat, diposisikan sebagai solusi paling sempurna, paling tajir dari keterpurukan ekonomi umat Islam. Namun posisi tersebut menuntut sebuah syarat, yaitu kembalinya sendi-sendi Islam yang hilang/rusak. Gagasan ini dibungkus dengan kisah-kisah indah dan menakjubkan dari masa lalu, disampaikan oleh hampir semua strata pejabat pemerintahan. Yang fasih disampaikan adalah gambaran kegemilangan sembari ‘menyalahkan’ keadaan yang tidak kondusif hari ini sebagai alasan dari ketidak mampuan.

Yang hampir tidak pernah disampaikan adalah kebijakanlah yang membawa kegemilangan, bukan semata-mata waqaf, seperti juga zakat. Dari sumber-sumber yang sama mengenai kegemilangan waqaf dan zakat masa lalu tersebut, juga tergambarkan dengan jelas bagaimana karakter kuat kepemimpinan menghasilkan kebijakan yang sangat mendukung aktualisasi potensi waqaf dan zakat. Kisah penduduk Madinah yang urung meminjam uang di Baitul Maal karena menyaksikan khalifah Umar bin Khatab yang menerima ‘penolakan’ bendahara Negara atas keinginan beliau meminjam dari Baitul Maal, adalah salah satu contohnya. Kemiskinan tetap ada, namun karakter pemimpin menjadikan rakyat menomor duakan kesulitan mereka masing-masing.

Kebijakan pemimpin menghasilkan kemakmuran, bukan waqaf, bukan zakat. Itu adalah potongan yang hilang dari tausiah para pejabat pemerintahan kepada rakyat negeri ini. Bagaimana kita dapat mengubah kondisi tersebut? Pengalaman membenahi pengelolaan zakat dapat menyediakan jawaban-jawaban kunci. Pertama, kita tidak boleh menunggu pemerintah untuk merubah keadaan. Rakyat selaku pemilik harta sekaligus penerima manfaat waqaf harus menciptakan sendiri momentumnya. Lembaga-lembaga waqaf yang ada harus memaksa dirinya melakukan perbaikan mutu SDM, administrasi & tata kelola dan pada saat bersamaan, harus mampu menghasilkan contoh-contoh pengelolaan yang dapat menggugah kepercayaan.

Kedua, menggunakan hasil dan kepercayaan yang tumbuh sebagai modal melakukan edukasi kepada khalayak yang lebih luas. Paparan ayat dan hadist semata tidak lagi memadai untuk menggugah kesadaran pemilik calon harta waqaf untuk menjadi bagian dari budaya waqaf. Calon waqif adalah orang yang lebih berfikir pragmatis, sederhana dan berorientasi pada hasil. Membeli sertifikat waqaf senilai Rp. 50jt atau mewaqafkan tanah senilai Rp. 50jt lebih mudah dilakukan daripada mewaqafkan sebuah usaha atau saham usaha dengan nilai asset yang sama. Pemanfaatan sertifikat waqaf atau tanah waqaf tidak memerlukan keterampilan serumit mengelola usaha. Itu yang ada pada benak banyak calon waqif. Karena itu edukasi yang disajikan harus mengarah kepada kompetensi nazhir hari ini, bukan semata soal ancaman dosa dan pahala atau kisah indah dimasa lalu.

Ketiga, keberanian melakukan terobosan. Ini adalah faktor utama keberhasilan revitalisasi pengelolaan zakat di negeri ini sejak dekade 1990-an. Untuk waqaf, terobosan tersebut bukan saja beresiko pada sisi fiqh, tetapi juga pada faktor teknis pengelolaan, khususnya pada waqaf produktif. Mengembangkan waqaf tunai untuk tujuan waqaf produktif seperti usaha memiliki dimensi teknis yang sangat berbeda dengan tujuan waqaf sosial seperti sekolah dan rumah ibadah. Pilihan pertama berhadapan dengan faktor kesiapan masyarakat dan kemampuan menjaga nilai asset yang dirupakan menjadi modal kerja. Kegamangan mengambil pilihan waqaf produktif menjadikan waqaf sangat kental bernuansa social. Ini pada gilirannya menghalangi SDM-SDM terbaik dibidang produktif menjauhi waqaf. Seperti sebuah lingkaran setan, ketiadaan terobosan menjadikan waqaf negeri ini tidak menghasilkan karya gemilang yang dapat menjadi wadah inkubasi bagi pengelola waqaf. Dan tanpa inkubasi, tanpa edukasi yang memadai, tidak akan hadir pengelola yang handal. Tanpa pengelola yang handal tidak ada terobosan yang diperlukan. Waqaf telah berjalan baik diwilayah waqaf sosial, namun tergagap-gagap diwilayah produktif, sesuatu yang lebih dekat dengan esensi waqaf: harta yang berkembang yang ditahan pokoknya.

 

Persimpangan Jalan

Mengejutkan, sebuah lembaga waqaf dibelahan lain negeri ini menerima tawaran pengelolaan 2 unit usaha secara beruntun. Total keseluruhan asset diperkirakan berada dikisaran Rp 1M. Dengan caranya, para nazhir tersebut berhasil meyakinkan waqif tentang komptensi mereka, namun bukan tanpa masalah. Segera setelah gagasan tersebut direalisasikan, mereka berkejaran dengan waktu untuk menyiapkan nazhir yang akan mengambil alih pengelolaan sementara dari waqif. Hal tersebut tetaplah sulit, meski untuk ukuran jumlah penduduk kota yang sangat besar. Dapat dibayangkan bagaimana kesulitan menemukan SDM yang handal dikota/daerah yang lebih sedikit penduduknya. Kejadian tersebut membuka cakrawala. Bahwa memang benar ada aghniya-aghniya yang bersedia mengambil jalan berbeda sekaligus resikonya untuk menjadikan aset produktifnya menjadi harta waqaf. Keputusan mereka adalah lompatan cara pandang. Mereka menyediakan contoh, benchmark bagi aghniya lainnya dan menyediakan semacam inkubasi bagi calon-calon nazhir lainnya.

Dihadapan nazhir terhampar peluang baru dan juga deretan pemanfaatan hasilnya. Yang belum jelas benar adalah apa posisi penguasa mengenai hal ini. Akankah mereka menyediakan dukungan atau justru melakukan kooptasi seperti halnya dalam masalah zakat? Tidak ada yang salah dengan penguasa mengelola waqaf, namun tanpa nazhir yang full timer tidak akan banyak manfaat yang bisa dihasilkan, tanpa kehadiran karakter tidak akan muncul kebijakan yang kondusif dan tanpa visi hanya akan muncul gonta ganti arah yang tidak menghasilkan apapun kecuali semakin memperkecil tumbuhnya kepercayaan kepada pengelola, kepada nazhir.

Waqaf di negeri ini mulai menggeliat dari tidur panjangnya. Waqaf produktif mulai menyeruak diantara waqaf sosial yang lebih dulu berhasil. Namun waqaf tersebut benar-benar berada disimpang jalan: akankah tumbuh menjadi tonggak baru pemberdayaan umat atau terkulai dihempas kebijakan setengah hati, seperti ulangan-ulangan sejarah sebelumnya.

——o0o———

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top